Cape Town , Bekerja di pedalaman Afrika memberikan
tantangan tersendiri baginya. Di sisi lain, ia prihatin karena
masyarakat di sana dihantui berbagai masalah kesehatan karena lokasinya
yang tak terjangkau oleh akses kesehatan. Ia pun memutuskan untuk turun
tangan.
80 persen kasus kebutaan sebenarnya dapat dicegah dan
diobati dengan operasi katarak yang sederhana dan hanya memakan waktu
tak kurang dari 20 menit. Namun di Afrika Selatan, kasus kebutaan
merajalela karena kurangnya akses ke klinik atau rumah sakit.
Hal
ini ditemukan dr William Mapham saat mengabdikan dirinya untuk bekerja
di pelosok Swaziland dan Eastern Cape, Afrika Selatan yang terpencil
selama lima tahun. Sebagai dokter mata, William prihatin masyarakat di
kedua wilayah tersebut kesulitan mengakses klinik mata.
Saat itu ia bertugas di Good Shepherd Hospital, Swaziland dan Uitenhage Provincial Hospital, Eastern Cape.
"Saya
bertemu banyak orang yang mengalami kebutaan selama bertahun-tahun dan
membutuhkan operasi katarak untuk memperbaiki penglihatannya. Namun
karena keterbatasan akses, tak banyak dari mereka yang bisa ke klinik,"
katanya.
Ia pun memutuskan membuat sebuah aplikasi ponsel yang
berfungsi mendeteksi gangguan kesehatan mata. Kebetulan dr William
pernah menghabiskan waktu beberapa bulan di New York dan Washington
untuk merancang aplikasi yang bertujuan meningkatkan layanan kesehatan
lewat, dan 'produknya' ini pernah dipublikasikan dalam South African
Journal of HIV Medicine di tahun 2008.
Aplikasi yang ia ciptakan
bersama rekannya Dylan Edwards di tahun 2011 itu pun mereka beri nama
Vula App. Vula diambil dari istilah bahasa Siswati, Xhosa dan Zulu yang
berarti 'terbuka'.
Fungsi utamanya ada tiga; memberikan edukasi
tentang kesehatan mata, melaksanakan tes mata sederhana, dan
menghubungkan pasien dengan dokter mata di klinik atau rumah sakit
terdekat.
Jadi
hanya dengan bermodalkan aplikasi ini, tenaga medis, terutama dokter
umum sekalipun dapat melakukan tes kesehatan mata. Si dokter umum
tinggal memotret mata pasien, lalu mengunggahnya ke sistem yang ada pada
aplikasi. Nantinya data ini akan dibaca serta dianalisis oleh seorang
spesialis mata. Dari situ si dokter spesialis dapat menentukan
diagnosis, merekomendasikan pengobatan atau memberikan rujukan kepada
pasien.
Untuk sementara, aplikasi ini baru terhubung dengan
dokter spesialis mata di Tygerberg Hospital, tempat dinas dr William
saat ini dan empat rumah sakit lain. Sejumlah klinik di daerah seperti
Worcester dan Bredasdorp, Afsel juga telah terkoneksi dengan Tygerberg
lewat aplikasi ini.
"Semoga dengan aplikasi ini, mereka yang
menderita penyakit mata di daerah terpencil bisa mendapatkan penanganan
secepat mungkin," harapnya seperti dikutip dari berbagai sumber, Sabtu
(20/6/2015).
Tahun lalu, aplikasi ini mendapatkan penghargaan
juara 1 SAB Innovation Foundation Awards, sehingga dr William dapat
menyempurnakan dan memasarkan aplikasi ini secepatnya.
Ke
depannya, mekanisme yang dikembangkan dr William juga akan diperluas
agar dapat dimanfaatkan oleh spesialisasi lain seperti kulit, jantung,
ortopedi, kesehatan anak, dan penanganan HIV.
dr William Mapham
yang diperkirakan berusia sekitar 30-an tahun itu memperoleh gelar
masternya, MBChB dari University of Cape Town dan menyelesaikan
internship di Kalafong Hospital, dekat Pretoria, ibukota Afrika Selatan.
Saat ini ia berpraktik di Tygerberg Hospital dan menjadi salah satu
staf pengajar di Faculty of Medicine and Health Sciences, Stellenbosch
University.
No comments:
Post a Comment