Saturday, October 31, 2015

Beri Pendidikan Reproduksi untuk Anak, Orang Tua Harus Punya Bekal Cukup

Beri Pendidikan Reproduksi untuk Anak, Orang Tua Harus Punya Bekal CukupJakarta, Memberikan pendidikan reproduksi untuk anak merupakan tanggung jawab orang tua. Namun sebelum memberikan pendidikan, orang tua juga harus memiliki bekal yang cukup.

Dra Ira Intasari, MPD, praktisi pendidikan yang juga pakar pendidikan reproduksi untuk anak mengatakan bekal orang tua harus cukup sebelum memberikan materi pendidikan reproduksi. Sebabnya, jawaban yang tidak memuaskan dari orang tua malah bisa membuat a
nak mencari jawaban dari sumber lain yang tidak terawasi.

"Kalau kata anak-anak sekarang itu nggak boleh sotoy kali ya. Kalau orang tua bisa jawab ya jelaskan aja dengan benar, sebatas rasa ingin tahu anak. Tapi kalau tidak tahu, lebih baik minta anak bersabar untuk menunggu sembari orang tua mencari jawabannya," tutur Ira, dalam bincang santai soal kesehatan reproduksi, di Wisma Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jl Hang Jebat III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (31/10/2015).

Dijelaskan Ira bahwa pertanyaan-pertanyaan anak soal kesehatan reproduksi tidak semenakutkan bayangan orang tua. Yang paling umum, anak akan bertanya mengapa alat kelamin ia dan saudaranya berbeda, atau organ tubuh ayah dan ibu berbeda.

Ketika pertanyaan tersebut, orang tua tak perlu panik. Jawab dengan benar sebatas rasa ingin tahu anak dan jika tidak tahu minta anak untuk bersabar menunggu sembari mencari jawaban.

"Kalau orang tua nggak tahu lalu panik, nanti anak akan semakin bingung. 'Kenapa kok mama panik?' akhirnya dia bingung juga dan pertanyaannya nggak terjawab," ungkap wanita yang juga mengajar di TK Al-Izhar ini.

Apalagi, saat ini media untuk pendidikan reproduksi sudah semakin banyak. Mulai dari boneka, buku, video hingga alat peraga lainnya tersedia sebagai media pembelajaran anak.

"Kalau saya pakai buku, ensiklopedia anak yang bisa didapat di toko buku. Sederhana aja, kita bacain isi ensiklopedianya lalu tunjukin gambarnya," pungkasnya.

Sunday, October 11, 2015

Saat Bertemu Orang dengan Gangguan Jiwa, Haruskah Menghindar?

Saat Bertemu Orang dengan Gangguan Jiwa, Haruskah Menghindar?Jakarta, Ketika berpapasan dengan seorang pengidap gangguan jiwa beberapa orang mungkin akan menghindar. Bahkan, beberapa orang justru cuek. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan?

Dijelaskan dr Irmansyah, SpKJ (K), dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor bahwa perilaku menghindari orang dengan gangguan jiwa bukan hal yang positif untuk sang pengidap. Dengan menghindar, yang ada perilaku tersebut malah bisa memicu emosi.

"Kalau kita mau datang orang pada kabur gimana rasanya? Kesal enggak kamu kalau lagi ngumpul terus kamu datang pada kabur?" kata dr Irmansyah pada acara Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Kementerian Kesehatan dan ditulis pada Sabtu (10/10/2015).

Menurut dr Irmasnyah, perlu ditanamkan penerimaan masyarakat ketika melihat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai seseorang yang punya penyakit dan perlu ditolong. Bukannya malah dihindari. Dengan merasa diterima dan tak dihilangkan martabatnya, ODGJ bisa lebih baik lagi dalam menghadapi kondisinya.

"Ngobrol aja dengan mereka. Cari tahu saja kisah mereka kadang-kadang kita bisa dapat inspirasi, surprise mereka punya hal-hal yang luar biasa. Dengan mendengar, mau mendekat saja sudah luar biasa," ujar dr Irmansyah.

"Sikap kita menerima mereka itu sudah sesuatu yang sangat positif. Ini sebetulnya modal untuk pulih bahwa martabat dia dipelihara oleh masyarakat," lanjutnya.

Pada kenyataannya, dr Irmansyah menuturkan kini ODGJ masih sering mendapat diskriminasi dari masyarakat dan tenaga kesehatan sendiri. Akibat negatif dari perlakuan tersebut yakni ODGJ menjadi tertutup dan tak mau terbuka terhadap kondisinya karena takut dikucilkan.

"Kita mungkin selalu ditekan perbedaan makanya kalau ada yang beda kita jaga jarak. Intinya kalau kita menghormati semua orang saya rasa sikap seperti itu tidak terjadi," tutup dr Irmansyah.