Sunday, June 21, 2015

dr William Mapham, Percepat Penanganan Pasien Katarak di Pelosok Afrika dengan Aplikasi

Cape Town , Bekerja di pedalaman Afrika memberikan tantangan tersendiri baginya. Di sisi lain, ia prihatin karena masyarakat di sana dihantui berbagai masalah kesehatan karena lokasinya yang tak terjangkau oleh akses kesehatan. Ia pun memutuskan untuk turun tangan.

80 persen kasus kebutaan sebenarnya dapat dicegah dan diobati dengan operasi katarak yang sederhana dan hanya memakan waktu tak kurang dari 20 menit. Namun di Afrika Selatan, kasus kebutaan merajalela karena kurangnya akses ke klinik atau rumah sakit.

Hal ini ditemukan dr William Mapham saat mengabdikan dirinya untuk bekerja di pelosok Swaziland dan Eastern Cape, Afrika Selatan yang terpencil selama lima tahun. Sebagai dokter mata, William prihatin masyarakat di kedua wilayah tersebut kesulitan mengakses klinik mata.

Saat itu ia bertugas di Good Shepherd Hospital, Swaziland dan Uitenhage Provincial Hospital, Eastern Cape.

"Saya bertemu banyak orang yang mengalami kebutaan selama bertahun-tahun dan membutuhkan operasi katarak untuk memperbaiki penglihatannya. Namun karena keterbatasan akses, tak banyak dari mereka yang bisa ke klinik," katanya.

Ia pun memutuskan membuat sebuah aplikasi ponsel yang berfungsi mendeteksi gangguan kesehatan mata. Kebetulan dr William pernah menghabiskan waktu beberapa bulan di New York dan Washington untuk merancang aplikasi yang bertujuan meningkatkan layanan kesehatan lewat, dan 'produknya' ini pernah dipublikasikan dalam South African Journal of HIV Medicine di tahun 2008.

Aplikasi yang ia ciptakan bersama rekannya Dylan Edwards di tahun 2011 itu pun mereka beri nama Vula App. Vula diambil dari istilah bahasa Siswati, Xhosa dan Zulu yang berarti 'terbuka'.

Fungsi utamanya ada tiga; memberikan edukasi tentang kesehatan mata, melaksanakan tes mata sederhana, dan menghubungkan pasien dengan dokter mata di klinik atau rumah sakit terdekat.

Jadi hanya dengan bermodalkan aplikasi ini, tenaga medis, terutama dokter umum sekalipun dapat melakukan tes kesehatan mata. Si dokter umum tinggal memotret mata pasien, lalu mengunggahnya ke sistem yang ada pada aplikasi. Nantinya data ini akan dibaca serta dianalisis oleh seorang spesialis mata. Dari situ si dokter spesialis dapat menentukan diagnosis, merekomendasikan pengobatan atau memberikan rujukan kepada pasien.

Untuk sementara, aplikasi ini baru terhubung dengan dokter spesialis mata di Tygerberg Hospital, tempat dinas dr William saat ini dan empat rumah sakit lain. Sejumlah klinik di daerah seperti Worcester dan Bredasdorp, Afsel juga telah terkoneksi dengan Tygerberg lewat aplikasi ini.

"Semoga dengan aplikasi ini, mereka yang menderita penyakit mata di daerah terpencil bisa mendapatkan penanganan secepat mungkin," harapnya seperti dikutip dari berbagai sumber, Sabtu (20/6/2015).

Tahun lalu, aplikasi ini mendapatkan penghargaan juara 1 SAB Innovation Foundation Awards, sehingga dr William dapat menyempurnakan dan memasarkan aplikasi ini secepatnya.

Ke depannya, mekanisme yang dikembangkan dr William juga akan diperluas agar dapat dimanfaatkan oleh spesialisasi lain seperti kulit, jantung, ortopedi, kesehatan anak, dan penanganan HIV.

dr William Mapham yang diperkirakan berusia sekitar 30-an tahun itu memperoleh gelar masternya, MBChB dari University of Cape Town dan menyelesaikan internship di Kalafong Hospital, dekat Pretoria, ibukota Afrika Selatan. Saat ini ia berpraktik di Tygerberg Hospital dan menjadi salah satu staf pengajar di Faculty of Medicine and Health Sciences, Stellenbosch University.

Sunday, June 14, 2015

Cerita Menkes Nila Soal Ubi Tumbuk, Kopi dan Hipertensi

Sidikalang, Kunjungan kerja Menteri Kesehatan Prof Nila Moeloek ke Sumatera Utara diwarnai dengan cerita menarik. Salah satunya adalah kaitan antara ubi tumbuk, kopi sidikalang dan kaitannya terhadap penyakit hipertensi.

Dalam acara makan malam yang digelar di Pendopo Bupati Sidikalang, Menkes Nila mengatakan bahwa ubi tumbuk merupakan salah satu makanan favoritnya, sementara reputasi kopi Sidikalang sebagai salah satu kopi paling enak bahkan sudah diakui dunia.

Namun di balik semua kenikmatan tersebut, ada bahaya penyakit tidak menular yang mengintai. Salah satunya adalah hipertensi atau darah tinggi. Penyakit yang satu ini sering disebut sebagai silent killer karena bisa menyebabkan stroke dan berujung pada kematian.

‎"Selain ubi tumbuk dan kopi, masih ada lagi itu durian Medan yang memang enak. Tapi hati-hati ya bapak-bapak dan ibu-ibu. Yang enak-enak itu bisa menyebabkan penyakit tidak menular, seperti hipertensi. Hipertensi bisa menyebabkan stroke dan meninggal. Kita tentunya tidak ingin Indonesia menjadi negara dengan angka kematian akibat stroke tertinggi di dunia, karena makanannya enak-enak," ucap Menkes Nila sembari berseloroh, di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Jumat (12/6/2015) malam.

Bahaya penyakit tidak menular bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga berpengaruh terhadap negara. Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penyakit tidak menular menjadi jenis penyakit yang biaya pengeluarannya paling tinggi.

Hipertensi, stroke, penyakit jantung, kanker serta diabetes merupakan penyakit tidak menular yang paling umum dijumpai. Dalam satu tahun perjalanan JKN, penyakit-penyakit inilah yang menyerap biaya paling tinggi.

"Kita teriak sekali kalau masyarakat tidak menjaga kesehatan, kita sendiri yang rugi. Doa kita adalah menjaga kesehatan masyarakat, salah satunya dengan meningkatkan kualitas layanan primer," paparnya.

Karena itu roadmap Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan primer seperti Puskesmas dan klinik umum menurutnya harus didukung. Faskes primer mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kesehatan masyarakat serta melakukan deteksi dini. Semakin dini penyakit ditemukan, maka peluang sembuh pun semakin besar.

"Target kita itu hanya 10-15 persen masyarakat yang sakit, sementara 85 persennya tetap sehat dan produktif. Kalau masyarakat yang sehat lebih banyak, tentunya masalah-masalah seperti rumah sakit penuh dan lainnya tidak akan terjadi," pungkasnya.

Sunday, June 7, 2015

Kisah Kakak Adik Pengidap ALS, Dulu Bekerja Kini Terduduk di Kursi Roda

Jakarta, Kholidin (24) dan Devi (21) adalah kakak adik dari satu keluarga di desa Girimukti, Sumedang. Mereka berdua hidup layaknya orang biasa sampai suatu penyakit misterius bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) menyerang dan mengubah segalanya.

ALS adalah penyakit saraf yang biasanya menyerang orang berumur 30 dan 40 tahun. Penyandangnya perlahan akan kehilangan kemampuan gerak sampai akhirnya lumpuh karena sinyal otak ke otot lewat saraf mengalami gangguan.

Penyebabnya dikatakan dokter belum diketahui pasti namun bisa juga karena genetik seperti yang terjadi pada Kholidin dan Devi.

Kholidin awalnya adalah seorang buruh yang bekerja di Bandung, sementara Devi adalah asisten rumah tangga. Mereka datang dari keluarga tak berkecukupan sehingga terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan tak melanjutkan pendidikannya setelah Sekolah Dasar (SD).

"Waktu si Kholidin 17 tahun nah itu dia tiba-tiba pegal, pening, terus keram. Bicara dia juga sama berbarengan mulai susah. Setelah sebulan akhirnya dia cuma bisa duduk di kursi saja," ujar Ketua RT Desa Girimukti Lili yang menemani sang kakak adik menghadiri seminar ALS di Mayapada Hospital, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, seperti ditulis pada Minggu (7/6/2015).

Hal serupa juga terjadi pada Devi. Mereka berdua dikatakan Lili kini hanya bisa terduduk diam di kursi roda dan hanya bisa mengandalkan bantuan orang lain.

Selain Kholidin dan Devi, sang ayah Adeng (46) juga punya penyakit yang sama. Keluarga mereka beranggotakan 6 orang dan tiga di antaranya punya ALS.

"Yang enggak kena itu istri, anaknya yang ketiga Sukma (15) sama yang paling kecil Ridwan (11). Tapi ini si Sukma sudah mulai nih kadang-kadang," kata Lili yang menambahkan kini karena tak ada yang bekerja mereka sangat bergantung pada bantuan orang lain.