Jakarta, Memberikan pendidikan reproduksi untuk anak
merupakan tanggung jawab orang tua. Namun sebelum memberikan pendidikan,
orang tua juga harus memiliki bekal yang cukup.
Dra Ira
Intasari, MPD, praktisi pendidikan yang juga pakar pendidikan reproduksi
untuk anak mengatakan bekal orang tua harus cukup sebelum memberikan
materi pendidikan reproduksi. Sebabnya, jawaban yang tidak memuaskan
dari orang tua malah bisa membuat anak mencari jawaban dari sumber lain
yang tidak terawasi.
"Kalau kata anak-anak sekarang itu nggak
boleh sotoy kali ya. Kalau orang tua bisa jawab ya jelaskan aja dengan
benar, sebatas rasa ingin tahu anak. Tapi kalau tidak tahu, lebih baik
minta anak bersabar untuk menunggu sembari orang tua mencari
jawabannya," tutur Ira, dalam bincang santai soal kesehatan reproduksi,
di Wisma Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jl Hang Jebat
III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (31/10/2015).
Dijelaskan
Ira bahwa pertanyaan-pertanyaan anak soal kesehatan reproduksi tidak
semenakutkan bayangan orang tua. Yang paling umum, anak akan bertanya
mengapa alat kelamin ia dan saudaranya berbeda, atau organ tubuh ayah
dan ibu berbeda.
Ketika
pertanyaan tersebut, orang tua tak perlu panik. Jawab dengan benar
sebatas rasa ingin tahu anak dan jika tidak tahu minta anak untuk
bersabar menunggu sembari mencari jawaban.
"Kalau orang tua nggak
tahu lalu panik, nanti anak akan semakin bingung. 'Kenapa kok mama
panik?' akhirnya dia bingung juga dan pertanyaannya nggak terjawab,"
ungkap wanita yang juga mengajar di TK Al-Izhar ini.
Apalagi,
saat ini media untuk pendidikan reproduksi sudah semakin banyak. Mulai
dari boneka, buku, video hingga alat peraga lainnya tersedia sebagai
media pembelajaran anak.
"Kalau saya pakai buku, ensiklopedia
anak yang bisa didapat di toko buku. Sederhana aja, kita bacain isi
ensiklopedianya lalu tunjukin gambarnya," pungkasnya.
Jakarta, Ketika berpapasan dengan seorang pengidap
gangguan jiwa beberapa orang mungkin akan menghindar. Bahkan, beberapa
orang justru cuek. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan?
Dijelaskan dr Irmansyah, SpKJ (K), dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor bahwa perilaku
menghindari orang dengan gangguan jiwa bukan hal yang positif untuk
sang pengidap. Dengan menghindar, yang ada perilaku tersebut malah bisa
memicu emosi."Kalau kita mau datang orang pada kabur gimana
rasanya? Kesal enggak kamu kalau lagi ngumpul terus kamu datang pada
kabur?" kata dr Irmansyah pada acara Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di
Kementerian Kesehatan dan ditulis pada Sabtu (10/10/2015).
Menurut
dr Irmasnyah, perlu ditanamkan penerimaan masyarakat ketika melihat
orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai seseorang yang punya penyakit
dan perlu ditolong. Bukannya malah dihindari. Dengan merasa diterima dan
tak dihilangkan martabatnya, ODGJ bisa lebih baik lagi dalam menghadapi
kondisinya.
"Ngobrol aja dengan mereka. Cari tahu saja kisah
mereka kadang-kadang kita bisa dapat inspirasi, surprise mereka punya
hal-hal yang luar biasa. Dengan mendengar, mau mendekat saja sudah luar
biasa," ujar dr Irmansyah.
"Sikap kita menerima mereka itu sudah
sesuatu yang sangat positif. Ini sebetulnya modal untuk pulih bahwa
martabat dia dipelihara oleh masyarakat," lanjutnya.
Pada
kenyataannya, dr Irmansyah menuturkan kini ODGJ masih sering mendapat
diskriminasi dari masyarakat dan tenaga kesehatan sendiri. Akibat
negatif dari perlakuan tersebut yakni ODGJ menjadi tertutup dan tak mau
terbuka terhadap kondisinya karena takut dikucilkan.
"Kita
mungkin selalu ditekan perbedaan makanya kalau ada yang beda kita jaga
jarak. Intinya kalau kita menghormati semua orang saya rasa sikap
seperti itu tidak terjadi," tutup dr Irmansyah.